Pakde Salam, Nelayan yang Beralih Profesi Jadi Penjual Punpun
Berhenti Mukat Karena Tekor, Jual Punpun Bisa Bayar Utang
“Kalau hutang 2,5 juta itu cuma 2 minggu bisa lunas, dari hasil jual punpun itu”, begitulah sepenggal peryataan Pakde Salam, lelaki 62 tahun yang namanya cukup familiar diterlinga para penghobby mancing di Kota Tarakan, karena usahanya menjual binatang sejenis cacing laut, yang kerap dijadikan umpan untuk memancing. Seperti apa perjalanan lelaki paruh baya ini memulai usahanya, berikut sekilas cerita dari kakek murah senyum itu.
LANGIT tampak sudah mulai gelap saat jarum jam menunjukkan pukul 18.00 Wita, beberapa waktu lalu, di Kawasan Perikanan, Kelurahan Karang Anyar Pantai, Kota Tarakan, tepatnya tak jauh dari gerbang jembatan Pelabuhan Tengkayu II. Sebalah kanannya tampak jejeran perahu nelayan yang ditambatkan.
Sebuah plang terbuat dari papan kayu lapis,
terpasanga di sebuah pancang kayu bertuliskan “Di sini Jual Punpun” terlihat
jelas dengan cat putih berlatar merah pudar di antara jejeran perahu tersebut.
Itu memperjelas bahwa salah seorang pemilik dari perahu-perahu tersebut adalah
perjual binatang sejenis cacing laut yang biasa bersarang di lumpur pantai,
kerap dijadikan umpan untuk memancing, inilah Punpun.
Adalah Pakde Salam, lelaki parubaya yang terlihat
duduk santai di atas perahu tepat di sampaing plang tersebut, yang menjual
Punpun di kawasan itu. Sambil mengobrol santai dengan beberapa orang rekannya
yang juga pemilik perahu (Nelayan) di lokasi itu, tampak sedikit sibuk
membereskan sejumlah perkakas dan barang miliknya di atas perahu berukurang
kecil miliknya itu.
Setelah menyampaikan niat untuk wawancara mengenai
usahanya itu, Paklek-begitu Pakde Salam biasa disapa, mengajak penulis turun ke perahunya untuk
duduk-duduk santai sambil megobrol. Dengan ramahnya lelaki yang dulunya bekerja
sebagai nelayan pukat itu, menceritakan alasan dirinya berhenti jadi nelayan
dan belarih profesi jadi pejual Punpun.
“Berhenti mukat karena tekor terus, sekitar 2
tahun lalulah saya berenti, waktu itu harga ikan murah, pendapatannya sudah
tidak sesuai dengan perongkosan melaut,” ucapnya kepada penulis.
Diakuinya, ketertarikannya menjual Punpun dari
sekedar coba-coba, karena melihat benyaknya peng-hobby mancing yang ditemuinya di beberapa titik Spot
pemancingan, seperti dermaga sejumlah pelabuhan dan kawasan perikanan di
Kota Tarakan.
Plang bertuliskan penawaran penjulan Punpun dengan
menyantumkan nomer Handphonenya-pun
didirikannya dekat perahunya. Dari situ ia mulai banyak dikenal oleh kalangan
peng-hobby mancing, dan membuatnya
kebanjiran pesanan.
“Paling banyak biasanya itu sampai 20 kompek
(kantong plastic ukurang 5 kilo gram), itupun jadi rebutan orang. Jadi kalau
segitu yah paling 2 jam saja sudah
habis terjual, sampai ada yang tidak kebagian,” ujarnya.
Per-kantong plastik, Pakde Salam mejual Punpun
yang masih dalam sarangnya itu seharga Rp 20 ribu. Dikatakannya, terkadang
terjadi antirian panjang oleh calon pembeli membuatnya kewalahan, karena cara
julanya tidak dengan ukuran pasti atau ditimbang, melainkan hanya dengan
takaran kantong plastik saja.
Semakin banyak peminat dan pemesan, membuat lelaki
kelahiran Malang 1940 itu hampir setiap hari mencari Punpun hingga keluar Pulau
Tarakan. Cara mencari cacing laut itupun menurutnya tidaklah mudah, dan tanpa
modal. Perlu ketelitian dan keterampilan menyelam di pantai berlumpur, baru
bisa memperoleh hasil yang memuaskan.
“Lokasinya itu di daerah (Pulau) Sikang sama Paspayau
sana, karena kalau di sini-sini (Sekitaran Pulau Tarakan) sudah jarang sekali
ditemui,” ungkapnya.
Memang agak rumit, karena memperoleh Punpun
harus dengan meyelam kedalam air setinggi leher (Sekira 1,5 meter), itupun
harus dengan ketelitian untuk mencari posisi sarang Punpun yang tertanam lumpur
di bawah air. Sehingga, yang menjadi tantangannya adalah waktu dan kekuatan
fisik mengait lumpur dengan tangan kosong atau tanpa alat bantu.
Selain itu, biaya perongkosan untuk perjalanan
berupa bahan bakar untuk mesin perahu jenis ketingting
6 Grosston miliknya, bisa menghabiskan
sekira 15 liter sekali jalan.
“Biasanya cari Punpun sambil mancing juga, jadi
kalau perhitungan saya, 2 jam cari Punpun habis itu, kalau sudah dapat bayak
saya lanjut mancing, sore kalau perkiraan air sudah mulai timbul (Pasang) di
sungai tempat mengikat perahu, baru kembali,” ujarnya.
Bapak 6 anak dari 5 orang istri itu, mengakui
bahwa penghasilannya dari menjual Punpun sedikit lebih baik dibandingkan saat
masih mencari ikan dengan pukat. Selain murah perongkosan, ia juga bisa meraup
untung barsih hingga Rp 200 sampai Rp 300 ribu sekali jalan. Terlebih pada hari
Sabtu atau malam Minggu, karena waktu itulah paling banyak orang yang ingin pergi
memancing.
“Awalnya, kalau hutang Rp 2,5 juta itu (Dengan
menjual Pumpun) 2 minggu saja sudah bisa lunas, cuma saat ini sudah sakit,
punpunnya sudah mulai berkurang, kadang dicari jauh-jauh hasil cuma sedikit,”
keluhnya.
Belakangan ini, hasil mencari Punpun dirasakan Pakde
Salam memang mulai menipis, lantaran yang mencari cacing unpan untuk mincing
itu sudah bukan dirinya saja. Beberapa orang telah tertarik mengikuti jejaknya.
Sehingga, populasi Punpun mulai menipis, dan mulai jarang ditemui di beberapa
tempat baik sekitaran Pulau Tarakan maupun pulau-pulau lainnya di luar Tarakan.
Meski demikian, pembeli Punpun tidak pernah ada
habisnya, justru makin hari makin banyak orang yang mendatangainya untuk
memesan Punpun miliknya.
Jarang
Pulang ke Rumah, Tidurnya di Perahu
Nama Pakde Salam yang sehari-hari sapa Paklek itu
ternyata sudah menganggap perahunya sebagai tempat tinggal keduanya. Istri yang
bersamanya saat ini merupakan istrik kelimanya, tinggal di rumahnya di kawasan Kampung
Baru, Jalan Jendral Sudirman, Kelurahan Pamusian, tepatnya di belakang Kantor
Pos Kota Tarakan.
Pakde Salam sangat jarang pulang ke rumah, lantaran
lebih menikmati suasana kawasan perikanan tempat sehari-harinya menambatkan
perahu. Menurutnya, di kawasan itu ia banyak teman, baik nelayan maupaun warga
setempat sudah cukup akrab dengannya. Itu membutanya merasa nyaman berdiam di
kawasan tersebut.
“Nanti saya pulang ke rumah kalau dipanggil
pulang, kalau sebulan tidak dipanggil yah
sebulan juga tidak pulang. Paling ibunya (Istrinya) yang datang ke sini ambil
uang,” tuturnya.
Kehidupan rumah tangga Pakde Salam di akuinya saat
ini juga cukup santai, dimana anak dari istri terakhinya yang saat ini
bersamanya hanya satu orang. Itupun telah menikah dan dikaruniai seorang 3 orang
anak.
4 orang isterinya yang lain, menurut pengakuannya
semua sudah pisah dengannya dan tinggal di kampung halamannya masing-masing di
Jawa Timur.
“Anak saya dari istri pertama itu 1, dari istri ke-dua
4, istri ke-tiga kosong (Tidak ada anak), ke-empat juga kosong, yang terkahir
ini 1 orang perempuan, sudah nikah anaknya 3,” bebernya.
Diceritkannya, masa mudanya memang penuh dengan
petualangan, dimana sejak tahun 1960 dirinya sudah meninggalkan kampung
halamannya untuk merantau ke berbagai darah, seperti Sumatra, Jakarta, Bali dan
terakhir di Kalimantan Timur (Sekarang Kaltara) yakni Tarakan.
Di Kota Tarakan sendiri, Pakde Salam mulai
menginjakkan kakinya pada 1980 silam, dan bekerja sebagai buruh kayu balak.
Setelah cukup lama menjalani profesi itu, dan memiliki modal untuk usaha
sendiri, lelaki paruh baya itu membeli perahu dan menjadi nelayan.
“Kampung saya itu gunung, tapi pengalaman jadi
nelayan itu sudah lama, waktu di Bali dan Jakarta, tapi waktu itu hanya ikut
orang saja,” terangnya.
Penghasilan sampingan Pakde Salam saat ini, selain
mencari Punpun dan memancing, jasanya juga sering dipakai untuk mengantar orang
memancing di laut. Diakuinya, setiap kali mengantar orang pergi memancing, bisa
memakan waktu seharian dengan bayaran Rp 350 ribu, dan modal yanh harus
dikeluarkannya berupa perongkosan bahan bakar sekitar 15 liter bensin.
“Kalau ngantar orang mincing itu terserah mau
mincingnya kemana saya antar, biasanya di daerah Tanjung Batu, itu sampai
seharian perhitungannya jam 05.00 sore sudah harus pulang, pokonya sampai tidak
nyari punpun aku,” tuturnya sambil tertawa kecil. (Br-Zny)
No telpon penjual pun pun nya mas
BalasHapus