KULIAH WARUNG KOPI
ADA penuturan menggelitik yang keluar dari aktivis lingkungan Walhi nasional, Dr Purnawan (maaf kalo salah nama) pada saat menggelar diskusi seputar lingkungan Kaltara di Kedai Bean Laden belum lama ini. “Jangan pernah sepelekan warung kopi,” kata dia di ujung diskusi.
Warung atau kedai kopi, dituturkan pria ini, merupakan tempat interaksi lintas sosial dan “kunci” untuk membuka beragam gagasan. “Bahkan saya menyuruh mahasiswa saya untuk sering-sering ke warung kopi,” tutur dosen lingkungan Widyagama Malang ini.
Mahasiswa yang hanya berkutat di ruang kuliah, dan mendapat nilai A, baginya, hal-hal biasa saja. “Tidak ada yang spesial. “Apalagi jelang ujian, ya, diktat itu aja dipelajari.”
Namun, mahasiswa yang meski nilai kuliahnya biasa-biasa saja, mampu survive setelah lulus kuliah. “Sebab, mereka mempelajari beragam spektrum ilmu dan diskusi di luar apa yang diberikan kampus, termasuk belajar dan ngilmu di warung kopi,” tuturnya yang disambut tepuk tangan dari puluhan mahasiswa yang hadir.
Saya pribadi belum sepenuhnya sependapat. Obyek analisa dokter lingkungan adalah Pulau Jawa. Kultur “belajar” di warkop belum menggeliat di daerah Kalimantan Utara. Memang, tempat terbaik mengadakan diskusi dan membedah kebijakan sosial sebuah daerah adalah warung kopi. Di warung kopi brainstorming bisa tercipta sebelum menuju kesepakatan.
Saya berharap mahasiswa membuka kembali gerakan-gerakan seperti ini. Nonton dan bedah “film” bernutrisi, diskusi dan studi kasus, mencetak tulisan atau gambar kritis dalam bentuk poster, tabloid atau selebaran dan lain sebagainya.
Apapun bentuk gerakan yang akan dan mau disusun, jangan lupakan warung kopi….warung kopi mana saja. (Asri Malik/Owner Kedai Bean Laden)
Komentar
Posting Komentar