Lika-Liku Kehidupan i Katu
Ilustrasi Gadis Bugis. |
DI momen hari pendidikan nasional ini saya mau mengenang sebuah kisah tentang gadis belia yang baru saja beranjak remaja. Gadis 16 tahun yang baru saja menerima buku rapor, buku berisi laporan hasil pendidikannya di sebuah sekolah formal sebagai siswi kelas 2 sekolah menengah atas.
I Katu sangat bahagia, nilai-nilai yang tertera di buku rapor itu sangat baik, meski bukan yang terbaik. Dia rangking 2, dia terbaik dari 42 teman sekelasnya, hanya satu orang nilainya satu poin di atas nilainya.
I Katu baru saja menerima rapor itu dari Bu Rumbai, wali kelasnya. Ia kini berjalan dengan penuh senyum di wajahnya, terkadang tanpa sadar ia melopat, ia girang. Bahagia sekali i Katu siang itu.
I Katu sudah tidak sabar memperlihatkan rapor itu kepada Tetta dan Ammanya. Tetta i Katu adalah orang terpandang, orang paling dihormati di kapungnya bahkan di kampung sebelah. I Katu merasa sebentar lagi ia akan mendapat pujian luar biasa dari Tettanya karena bangga akan dirinya. Dia anak yang pintar.
Baru saja i Katu sampai di depan pintu rumahnya, ia melihat banyak alas kaki di sana, tentu lagi banyak tamu di rumah. I Katu masuk, mengetuk pintu lalu mengucapkan salam, salamnya dijawab orang ramai.
I Katu heran, kenapa Puang Canring, bersama keluarganya ramai-ramai datang ke rumahnya, bertemu Tettanya dengan berpakaian cukup rapi. Puang Canring tersenyum-senyum aneh melihat kedatangan i Katu.
"Katu cepat masuk temui Ammamu di dalam," titah Tettanya.
I Katu yang awalnya ingin langsung memperlihatkan rapornya ke Tettanya mengurungkan niatnya, ia masuk ke ruang paling belakang rumahnya. Di sana ada Ammanya bersama beberapa wanita lain, beberapa di antaranya sudah paruh baya.
"Ada apa ini Amma, kok ramai-ramai," tanya i Katu pada Ammanya.
"Katu, masukmi dulu kamarta, ganti bajuta, nanti Amma jelaskan," jawab Ammanya dengan suara pelan.
I Katu masih bingung, mulai dari ruang depan, Paung Canring dengan beberapa laki-laki lainnya yang rata-rata seumuran Tettanya senyum-senyum aneh melihat kedatangannya, pun begitu dengan wanita-wanita di ruang dalam.
I Katu penasaran, ia kembali keluar kamar tanpa mengganti seragam sekolahnya. Ia kembali mengajukan pertanyaan yang sama ke Ammanya.
"Siniko, masukki ke kamar sama-sama, nanti di dalampi kukasi tau ko," jawab Ammanya masih dengan suara pelan setengah berbisik sambil menarik pergelangan tangan i Katu, menyeretnya kembali masuk kamar.
"Itu kau lihat di luar? Adai Puang Canring datang ketemu Tettamu, mau nalamarko jadi istrinya," ucam Amma i Katu.
I Katu terpaku, perasaannya bagai tersambar petir. Matanya mulai berkaca-kaca, lalu dengan suara yang bergetar ia mengajuka pertanyaan ke Ammanya, "lalu apa nabilang Tettaku?"
"Tidak baik menolak niat baiknya orang, apalagi katanya Puang Canring itu orang terpandang, yakin Tettamu bisa sekali nabahagiakanko," jawab Ammanya.
"Tapi Amma, Puang Canring sudah adami istrinya, adami anaknya," tanya i Katu lagi dengan tertahan-tahan karena tangisnya sudah mulai pecah.
"Katanya sudahmi cerai 3 bulan lalu sama istrinya," jawab Ammanya lagi. Tangis i Katu pecah, air matanya bercucuran, seluruh badannya terasa lemas, iya kemudian rebah tak sadarkan diri.
I Katu sadar dari siupnya, hari sudah senja, sudah lepas waktu magrib, namun badan i Katu masih terasa lamas. Di tepi tempat tidurnya ada Ammanya duduk sambil mengusap-usap kepalanya. "Sudah baikan maki nak?" tanya Ammanya.
I Katu masih tidak mampu bersuara, ia berharap bahwa apa yang dia alami tadi siang hanyalah mimpi. Namun tidak lama kemudian Tettanya masuk kamar, tanpa ragu Tettanya mengatakan, "Sudahmi diputuskan sekalian tadi, Tetta sama keluarga yang lain dan keluarga Puang Canring sepakat, bulan depan kita lanksanakan acaranya,"
I Katu yang mendengar ucapan Tettanya kemudian bertanya dengan suara pelan, "Tabe, acara apa kita maksud Tetta?"
"Acaramu, kau sama Puang Canring akan menikah bulan depan, jadi siap-siap mako, sudah saya suruh Ammamu sama yang lain untuk persiapkan juga semuanya," ucap Tettanya dengan suara lantang.
"Tapi Tetta, saya masih mau sekolah," ucap i Katu.
Mendengar ucapan i Katu itu, Tettanya kemudian memelototinya, dia tampak geram.
"Sekolah? apa untungnya sekolah bagi perempuan? Biarko sekolah tinggi-tinggi tetapko juga jadi istri, di dapurji juga nanti kerjamu," ucap Tettanya dengan nada sedikit membentak.
"Tapi Tetta..." belum lagi i Katu selesai berbicara, Tettanya langsung membentaknya, "Diam!!!... Pokoknya sudah saya terima lamarannya Puang Canring, bulan depan kau harus menikah dengan dia, janganko bikin maluka!" ucap Tettanya dengan suara tinggi kemudian berlalu sambil membanting pintu kamar.
Mendengar kata-kata Tettanya itu, i Katu kembali tidak kuasa menahan tangis, ia berpikir bulan depan dia harusnya sudah duduk di bangku kelas 3, artinya setahun lagi dia akan lulus SMA, kemudian melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah, menjadi seorang sarjana kemudian bekerja sebagai guru atau mungkin seorang perawat, dokter, wanita karir dan lain-lainnya, nanti setelah melalui itu semua baru i Katu akan menikah. Begitulah bayangan masa dapan yang terpikir dalam benak i Katu selama ini.
Tapi, semua impiannya itu sirna, di hari bahagia karena mendapat nilai memuaskan di sekolah, ternyata juga hari terakhir dirinya melihat pintu ruang kelasnya. Sirnah sudah semua harapan dan masa depan gadis belia 16 tahun itu.
Bulan depan dia akan menjadi istri muda seorang saudagar kaya, duda 42 tahun beranak dua. Sangat kontras dengan apa yang diinginkannya dengan rajin belajar, menjadi orang pintar agar kelak nantinya ia bisa menjadi kebanggaan keluarganya, kebanggan Tetta dan Ammanya.
Tapi Tettanya justru memaksanya menikah di usia yang masih sangat muda, dan Ammanya hanya bisa berkata, "Sabar ko nak." (fiksi)
Komentar
Posting Komentar